Ivory Woods (Chapter 1)


Sekelebat bayangan itu muncul. Menciptakan siluet putih dalam hutan gelap ini. Ia seperti angin, tak terlihat namun dapat dirasakan kehadirannya. 
Putih.
Semuanya putih.
Rambut ivory sepinggangnya mengayun lembut, menciptakan kilat-kilat keemasan. Irisnya bening seperti kristal kemerahan, kosong, sampai hampi-hampir kau dapat melihat jiwanya di sana. Ia terus berjalan tanpa menggunakan alas kaki--tanpa takut tergelincir lumut yang tebal diantara bebatuan. Jubah cokelat panjangnya menutup hampir seluruh tubuhnya, serta tudung lebar itu mengayun dibawah helaian rambutnya. Kulitnya sangat putih, seputih alisnya, bahkan jika kau bertemu, mungkin saja kau mengira bertemu dengan ratu kerajaan es atau peri hutan. Tapi tidak, dia sama seperti kita. Dia manusia...biasa.

  "Bangunlah" ucapnya, sambil membawa beberapa buah beri liar. "Aku tak ingin kau mati kelaparan," sambungnya.
  Sosok yang diajak berbicara, hanya bergerak sedikit, tetap tidak mau membuka mata. "Aku ingin mati saja," bisiknya, sambil menutup kedua matanya dengan lengan kanannya. Lengan kirinya terluka parah. "Kenapa kau menolongku? Aku tak ingin melihat siapapun saat ini."
  "Kemarin aku melihatmu bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Aku tak ingin ada seseorang yang mati di hutan ini, maka dari itu aku menolongmu. Kau baru siuman tadi pagi--dan kurasa kau membutuhkan makanan. Ini, aku membawakanmu beberapa buah beri. Mungkin kau takkan kenyang--yah, paling tidak kau bisa bertahan. Makanlah!" ucapnya sambil menyodorkan buah beri yang ia simpan dalam kantung kulit kecoklatan. Rambut ivorynya yang selembut sutera pun terurai mengenai tangan pemuda itu.

  "Siapa namamu?" tanya pemuda itu tanpa membuka mata dan tetap menutupinya dengan lengan kanannya.
  "Aerie. Kurasa, tak terlalu penting kau menanyakan itu."
  "Uhm...Aku...Erst. Sebenarnya, aku takut membuka mata dan mendapati aku masih hidup di dunia. Kupikir beruang itu yang akan menghabisiku, dengan begitu aku tak perlu menanggung malu ini...Er."
  "Coba...buka matamu. Dunia tak seburuk itu, asal kau tahu saja."
  "Aku ini pecundang, dan kau tak mengerti."
  "Mungkin bagi gadis yang sejak lahir di hutan, tak memiliki seorangpun teman manusia, memang aku takkan mengerti. Tapi bukalah matamu, kurasa, jika kau mau."
  "Hmmm" Erst bergumam pelan. Erst tak kunjung membuka matanya. Aerie menunggunya.
  "Baiklah, kutinggalkan beri ini disampingmu. Kubiarkan kau berpikir tentang apapun, jika kau lapar, oh, kau bisa mengambilnya." Ucap Aerie sambil beranjak dari samping Erst.

  "TUNGGU! Baiiik, aku akan membuka mata, tapi tolong jangan menatapku seperti menatap seorang pecundang."
  "Well, aku bahkan nggak kenal kau, sebatas namamu--Erst. Ta--tapi, kau jangan kaget melihatku. Aku lebih tak ingin mendapat tatapan ngeri." Aerie berbalik dan kembali bersimpuh disamping Erst.
  "Oke, deal." Perlahan Erst menarik lengannya. Perlahan Ia membuka matanya, mengerjap-ngerjapkannya sebentar. Semuanya buram, batinnya. Matanya terlalu lama tertindih lengannya. Ia menoleh ke Aerie, iris birunya membesar, mecoba melihat Aerie lebih jelas. Nafasnya tercekat. "A...Apa kau...elf?" Tanya Erst, terbata-bata. Ia berusaha tak menunjukkan tatapan ngeri. Tapi penglihatannya sudah jelas sekarang. Didepannya, bersimpuh seorang gadis, sangat cantik dan sangat mengerikan--secara bersamaan.

  "Ini aku, Aerie, aku... dapat dikatakan seorang manusia biasa. Terima kasih, kau tak menunjukkan tatapan ngeri--tapi aku ingin tertawa melihat pupilmu yang melebar. Apa aku sebegitu cantiknya seperti seorang elf?" Aerie tersenyum, membuat Erst semakin tercekat--hampir tak berkedip.
  "Ya...mungkin." Kata Erst, tanpa memalingkan wajah. Tak sadar, Ia berusaha untuk duduk bersandar, namun kejangan lengan kirinya serasa menusuk otaknya. "AAAAAAAH!"
  "Jangan bergerak! Kau ingat kan kau diserang beruang. Mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat."
  Erst hanya mendengus pelan. Bagus sekali, pikirnya. Ia tak mati, namun Ia hidup dengan lengan kiri hancur.

  "Sudah, jangan berpikir macam-macam, makanlah berinya. Aku akan mencari buruan untuk kita berdua. Apapun yang bisa dimakan sih."
  "Kau...makan?" Erst terlihat kikuk. Pertanyaan macam apa barusan? batinnya.
  Aerie memandangnya sejenak, sungguh Ia ingin tertawa dengan ulah pemuda ini. "Tentu saja! Apa kau ingin aku memakanmu?" Mimik wajah Aerie berubah serius.
   "WHOAA! Tidak, jangan mendekat! Aku sudah menduga kau elf pemakan manusia!" teriak Erst ketakutan. Wajahnya berubah pucat seketika.
  Aerie tertawa cekikikan. "Aku kan manusia, Erst. Manusia biasa. Aku bisa saja kelaparan dan mati disini jika aku tidak makan--aku bukan kanibal, karena daging rusa masih enak buatku. Tunggulah." Kata Aerie, sambil menutupkan tudung ke rambutnya, meraih busur panah yang tergantung di dinding, lantas pergi meninggalkan Erst yang masih terpana.

  Oh Tuhan...batin Erst.

to be continued...

lacuptea

Comments