Posts

Showing posts from January, 2015

well,

Aku ingin membiarkan semuanya. Kepala kita sama, sama-sama keras seperti batu. Asal kau tahu, mengapa manusia lebih memilih untuk mengingat hal-hal yang membuat sedih, yang menyakitkan? Bukankah hal-hal yang menyenangkan lebih layak untuk diingat? Bahkan, bila nanti aku pergi, apakah kau tetap akan mengingat keburukanku? Bahkan, bila nanti aku tak mampu menjangkaumu lagi, jika aku sudah tak disini, apakah kau tetap akan mengingat hal-hal yang menyedihkan? Apakah itu yang kau mau? Aku akan sangat sedih bila kau melakukannya, sungguh. Mengapa hal-hal terbaik yang pernah kita lakukan selama ini, seakan-akan menguap di permukaan? Aku sungguh menyayangimu, bacalah apa yang aku tulis tentangmu. Bagaimana perasaanku, ketika kau bersikap seperti ini padaku? Mungkin aku memang terlalu rapuh, atau apalah, terserah kau saja. Aku tak sanggup berpikir jika kau masih terus memperumit hal ini. Begini saja, aku ingin membiarkan semuanya.  lacuptea

M A S K

Look at him, deeper. What we see and what he feel is different. He's not being himself. He's being someone that everyone wants him to be. He wears ... m a  s   k. lacuptea

kali ini aku tak mau memberi judul

Well , Ruth berpikir. Lama. Lalu, ia sampai pada kesimpulan, don't get too close or I'll hurt you. ruth. lacuptea

One Fine Day

Ruth mendekap kedua kakinya, sangat rapat. Ia tak mampu berpikir lagi. Apapun yang terjadi akhir-akhir ini dalam hidupnya hanyalah kekacauan. Ia hampir tak memiliki seseorang untuk berbagi tentang kehidupannya. Lehernya terasa terjerat, sesak, ia tak sanggup lagi bernapas. Ruth menenggelamkan kepalanya dalam-dalam di lututnya, seraya berpikir apakah ia akan mengalami hal ini selamanya.  Mungkin sudah sejam Ruth dalam posisi itu. Lehernya mulai terasa sakit, namun tak sesakit perasaannya. Rasa bersalah menyeruak di dada Ruth, perlahan menggerogoti kewarasannya. Ruth tak mengerti kenapa hal ini harus terjadi padanya. Ruth kecewa, mengapa ia harus berada dalam keadaan ini. Ia kacau saat mendengar teriakan-teriakan penolakan dari kepalanya, kemudian dengan segera mengambil headset , memasangnya, memperbesar volumenya hingga maksimum. Ruth tak peduli dia akan menjadi tuli. Lebih baik ia tak mendengar apapun, daripada ia harus menanggung sesak yang ia terima ini. Baga

Kau, Aku, dan Macaroons

Buru-buru Ruth mengambil langkah ke kafetaria karena rasa lapar yang tak tertahankan dari perutnya menyeruak. Kelas baru saja bubar dan Ia ingin cepat-cepat melahap makanan di dalam kotak bekalnya. Kemudian Ia melihat Clarke, sedang duduk sendiri di meja paling ujung--" Clarke! " sapa Ruth dengan antusias. Ia pun menghampiri Clarke dengan segera. "Hai Ruth!! Kau mau makan juga di sini?"    " Well, as you see! " Ruth segera meletakkan kotak bekalnya di meja itu. Ia duduk berhadapan dengan Clarke yang tampak asyik menikmati strawberry parfait- nya. Ruth mulai menyendok bekal makanannya dengan semangat. "Clake, apa kabar? Bagaimana liburanmu?" ucapnya mengawali pembicaraan. Kini mulut Ruth penuh dengan chicken bruschetta buatannya. "Beginilah Ruth, hahah-- yah , mungkin pertanyaan itu yang seharusnya aku tanyakan padamu! Anyway... kau kelaparan?" Clarke memandangi Ruth dengan heran, bagaimana gadis itu memasukkan sesendok pen

Ivory Woods (Chapter 1)

Sekelebat bayangan itu muncul. Menciptakan siluet putih dalam hutan gelap ini. Ia seperti angin, tak terlihat namun dapat dirasakan kehadirannya.  Putih. Semuanya putih. Rambut ivory sepinggangnya mengayun lembut, menciptakan kilat-kilat keemasan. Irisnya bening seperti kristal kemerahan, kosong, sampai hampi-hampir kau dapat melihat jiwanya di sana. Ia terus berjalan tanpa menggunakan alas kaki--tanpa takut tergelincir lumut yang tebal diantara bebatuan. Jubah cokelat panjangnya menutup hampir seluruh tubuhnya, serta tudung lebar itu mengayun dibawah helaian rambutnya. Kulitnya sangat putih, seputih alisnya, bahkan jika kau bertemu, mungkin saja kau mengira bertemu dengan ratu kerajaan es atau peri hutan. Tapi tidak, dia sama seperti kita. Dia manusia.. .biasa .   "Bangunlah" ucapnya, sambil membawa beberapa buah beri liar. "Aku tak ingin kau mati kelaparan," sambungnya.   Sosok yang diajak berbicara, hanya bergerak sedikit, tetap tidak mau membuka

Perbincangan Tengah Malam

Hanya ada aku, kau dan secangkir teh. Kedua bola matamu menyiratkan kelelahan, menciptakan urat-urat kemerahan yang nampak jelas bagiku. Kita tersenyum, membicarakan kenangan yang dulu kita alami bersamanya. Kau nampak kuat, tapi kau menangis dalam kesendirianmu. Mata kita basah dengan kenangan, memori itu terlalu indah untuk diungkapkan. Bagaimana kau, dan aku juga, merindukannya. Kulihat sirat-sirat kesedihan di setiap senyumanmu. Sebelumnya, kita duduk memandangi rerumputan yang kian liar dan meninggi itu. Sebelum kita sampai pada meja ini. Sebelum kita berbincang tentang semuanya. Namanya jelas terpahat di sana. Kau tahu? Kita sama. Hanya kau lebih pintar menyembunyikan perasaanmu. Atau sebenarnya tidak. Atau mungkin kau yang lebih sedih? Maafkan aku. Kenangan itu terlalu menyedihkan. Teriakan kita hari itu, masih jelas terdengar. Bagaimana kita memanggil namanya. Bagaimana akhirnya kita menguatkan diri kita sendiri. Kutatap lagi wajahmu. Wajahmu sudah tidak

Mungkin Jika Aku Bisa Mengatakannya Padamu, Nyatanya Aku Tak Bisa

Tak ku mengerti mengapa begini Waktu dulu ku tak pernah merindu   Tapi saat semuanya berubah   Kau jauh dari ku pergi tinggalkanku mungkin memang ku cinta mungkin memang kusesali aku hanya ingkari kata hatiku saja tapi mengapa kini... Nggak. Aku nggak jatuh cinta padanya. Kupencet tombol next  di iPodku. Nggak mungkin kan aku memikirkannya? Apa sih yang ada di pikiranku? Hey, we are just friend, nothing more than that. Aku berjalan lunglai ke kamarku. Mencoba menghapus apapun yang sedang kupikirkan. Rasanya, terlalu lama di ruang keluarga untuk memandangi hujan membuatku semakin gila. Kurebahkan badanku di kasur. Terlalu lelah, aku terlalu lelah. Kucoba memejamkan mata, tapi aku tak bisa. Pada akhirnya, aku meraih iPhoneku, mencoba menghibur diri dari semua perasaan aneh ini. Kubuka Instagram , namun secara tak sadar jemariku mengetikkan namanya, ingin tahu apakah dia juga memiliki akun disini. Kupandangi foto-fotonya-- dan ada fotoku. Ada fotoku! Sedang tertawa riang dan

Autumn Tears

Sudah tampak kemerahan .  Kupungut satu, perlahan membungkukkan badan. Yang merah, berjatuhan, seperti hatiku yang kini berjatuhan, berhamburan, berserakan di tanah. Apa lagi yang bisa kurasakan? Kubolak-balikkan daun kemerahan yang kupegang itu. Menatapnya, menghirupnya, lalu menyimpannya di saku mantelku ini. Aku berjalan lagi. Kugenggam daun maple itu erat di dalam saku. Kulihat ada sepasang burung hantu Blakiston sedang bertengger diantara dedaunan, membuatnya tersamarkan diantara merahnya maple. Membuat hatiku semakin sedih. --- Juntaian tile putih bersih itu masih teringat jelas di ingatanku. Bibirmu yang merah merekah tersenyum. Mata hijaumu menembus dasar pikiranku, meremasnya kuat, menjadikanku hanya milikmu seorang. Saat janji itu kuucapkan, diiringi tatapan Chestnut-- kucing peliharaanku--kita menikah. Tanpa seorangpun disana. Di ruang kecil itu. Ruang biru gelap yang kudekor dengan susunan lampu LED, warna-warni kesukaanmu. Air matamu berlinang, tapi aku yang m

'Cause there'll be no sun on Sunday

Here, we, are. Aku menulis beberapa kata. Mungkin tentang kehidupan akhir-akhir ini.  Maybe yes, I missed him. Semua kekacuan pada akhir 2014 sampai awal tahun ini mengubah hampir semua part hidupku, tanpa kusadari perlahan membuatku menyadari betapa berharganya hidup ini. Dicintai dan dianggap ada, diperhatikan dan diabaikan-- semua terasa nyata . Bahkan tentang rahasia. Beberapa rahasia muncul. Beberapa rahasia kuketahui, beberapa sangat, mengejutkan. Apa yang aku cari sebenarnya tidak ada lagi. Mereka datang bergantian. Mungkin seperti wadah terbaik, aku mendengar semua yang mereka risaukan. Rasanya hidupku pernah di ambang batas. Rasanya hidupku fantasi. Dan rasanya sekaranglah aku mendengar. Lirih hati yang bahkan tak mampu mereka utarakan. Aku mencoba untuk lebih tegar. Bagaimanapun juga, banyak masa buruk yang telah terlewat, banyak masa ajaib yang memberiku kekuatan untuk menjadi "wadah terbaik" itu.  Kadang diriku sendiri tak mengerti bagaimana