it, there.

Ia menatanya lagi untuk kesekian kalinya, mencoba membuatnya serapi mungkin. Ia memutarinya--bolakbalik--hanya memandangi dan sesekali menggesernya sedikit. Ia menggaruk tengkuk, masih merasa ada yang salah dengan apa yang ada di hadapannya. Ia tak sanggup lagi untuk bermalam sekali lagi tanpa tidur. Dirinya sudah terlalu lelah. Diempaskannya tubuh mungil itu ke sofa. Malam pun segera menyelimutinya dengan lelap.

---

Ia heran. Jendela itu terbuka lagi. Entah siapa yang membukanya, atau bahkan dia sendiri...Ia sama sekali tak ingat. Ia menatap ke meja--pupil matanya melebar. Susunannya sempurna seperti yang Ia inginkan. Sama seperti bayangannya. Ia berpikir betapa jeniusnya dia. Bahkan, Ia tak ingat kapan menatanya. Mungkin semalam Ia terlalu lelah. Memang, akhir-akhir ini banyak hal aneh yang Ia tak sempat mengingat kapan Ia melakukannya--dan terjadi. Apa tekanan pekerjaan ini yang membuatnya menjadi kurang waras? Ya, mungkin Ia harus ke psikiater atau ke dokter syaraf.

---

Senyum lebarnya mengembang--jauh lebih lebar daripada jalanan kota London. Kertas yang dipegangnya bagai jimat sakti. Desain runaway semalam diterima oleh pihak promotor acara. Kerja kerasnya selama beberapa hari ini terbayar sudah. Iapun memutuskan untuk mampir ke cafe yang biasanya hanya Ia lewati. Ia memilih sofa merah kecil di sudut cafe yang menghadap ke arah jalan. Kaca besarnya sangat besar hingga seperti tak ada penghalang antara pengunjung dan orang yang berlalu lalang. Ia menikmati kegembiraan dalam kesendiriannya--sambil menikmati segelas parfait.  
Nyatanya...Ia tak sepenuhnya sendiri.

---
Semua orang menyalaminya. Malam ini sukses besar. Ia meneguk wine dengan kalap--mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya. Tak pernah Ia sebahagia ini. Tak terasa sudah dini hari, dengan kondisi mabuk, Ia terpaksa harus diantar oleh salah satu staf acara. Dengan terhuyung Ia masuk ke flat-nya, melempar high heels-nya sembarangan--menuju ke kasurnya. Oh...mungkin aku akan muntah, pikirnya. Iapun bergegas menuju toilet membuka kloset dan memuntahkan apapun yang mengaduk aduk perutnya. Ia menangis di dalam toilet merasakan perutnya tak terkontrol. Ia menjerit dalam hati, adakah yang mau membelikannya obat mual dini hari begini. Tubuhnya merosot ke lantai--Ia muntah lebih banyak. Malam itu kacau, tapi sekaligus malam yang membahagiakan. Ia muntah lagi--mengenai sequin dress Moschino-nya. Ia menangis, kemudian gelap.

---

Ia mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Ia mengingat betul apa yang terjadi semalam...pesta...wine..dan...muntahan! Bergegas Ia ke toilet, mengecek segala kerusuhan yang dialaminya semalam. Tenggorokannya tercekat. Toiletnya bersih, tak ada bekas apapun--bahkan Ia hampir menjerit ketika melihat dress yang dipakainya semalam tergantung rapi di samping lemari. Tak ada bekas muntahan, bahkan, baunya wangi. Jantungnya berdegup kencang. Apakah yang dialaminya kemarin hanyalah ilusinya? Atau...ia terkena...skizofrenia?
Ia segera meraih iPhone yang tergeletak di meja. Matanya terbelalak. Banyak notifikasi masuk di messenger-nya, menyatakan selamat atas keberhasilannya. Banyak yang mengunggah fotonya di instagram. Jadi, siapakah yang membereskan semuanya?
Dengan napas tertahan, Ia menatap ke arah pintu.

...
...

Comments