Hari Pertama di Kyoto: Pengalaman Pergi ke Jepang bersama Suami saat Pandemi

18 November 2020
Tepat setahun lalu kami pertama kali menginjakkan kaki di negeri sakura. Disambut dengan suhu belasan derajat, saat itu masih memasuki musim gugur. Masih kuingat dengan jelas suasana pagi itu saat seorang petugas bandara membagikan beberapa lembar kertas—yang aku masih bingung juga karena minim bahasa Inggris—lalu ia mengumumkan sesuatu kepada seluruh penumpang pesawat saat itu (dengan tetap berbahasa Jepang, lol). Jarum jam menunjukkan pukul 7 pagi, suasana pesawat menjadi sedikit ramai karena penuhnya penumpang saat itu dan sepertinya mereka tidak betah menunggu berlama-lama (aku juga bingung, padahal sedang masa pandemi ya).

Akhirnya, setelah menunggu pembagian kloter keluar, kami pun dipersilakan keluar dari pesawat. Saat itu,  di rombongan kami ada aku, suamiku, dan tiga temanku yang lain yang ikut serta dalam penerbangan itu. Saat kami keluar, kami berjalan mengikuti koridor yang sudah dipersiapkan oleh panitia (semacam satgas covid bandara Kansai). Banyak sekali jumlah mereka, tapi tidak ada yang gabut ataupun santai-santai. Mereka dengan sigap mengarahkan para penumpang untuk menuju shuttle car ke arah gedung utama bandara. Kami menyempatkan diri untuk berfoto di dalam shuttle car tersebut walaupun kondisi masih lelah karena perjalanan 6 jam dari Jakarta ke Kansai. 

Sesampainya di gedung utama bandara, kami diminta duduk di kursi yang telah disediakan untuk mengisi form yang berbahasa Inggris. Ada sih, form yang berbahasa Jepang, jadi kami pakai Google Translate karena tidak tahu apa artinya (hahahah, maklum bahkan level bahasa Jepangku masih setara anak PG). Setelah kami mengisi form, kami diarahkan. Menuju alur selanjutnya yaitu tes covid ulang menggunakan sampel saliva dari penumpang. Sungguh tes yang anti ribet dan anti sakit (mungkin karena negara maju ya jadi level teknologinya udah beda hahahah). Setelah mengumpulkan tabung falcon berisi salivaku, aku diarahkan menuju meja screening berkas form yang tadi kuisi. Jadi di sana diminta Residence track (semacam pledge dari universitas yang menunjukkan kalau mereka bertanggung jawab atas aku), paspor (dicek visanya), form karantina (tempat karantina), serta hasil tes PCR yang dari Indonesia.

Setelah selesai screening berkas, kami menunggu di ruang tunggu sementara untuk hasil tes saliva yang baru dilakukan. Di sana aku baru berkenalan “secara resmi” dengan dua temanku yang lain—yang sebenarnya adalah teman kuliah suamiku hahahah. Saat menunggu rasanya deg-degan karena takut ternyata hasilnya berbeda dengan tes di Indonesia, karena ya tau sendiri lah ya Jepang teknologinya lebih maju dan bisa jadi alatnya lebih sensitif dan akurat (hahahhah).

Setelah menunggu kurang lebih 20 menit, diumumkanlah hasil negatif, dan akupun diberi semacam kertas berbahasa Jepang (yang kurang lebih isinya menunjukkan aku “aman”). Setelah itu aku pun menuju antrian selanjutnya, yakni imigrasi. Antrian deg-degan kedua setelah menunggu hasil tes covid tadi. Di imigrasi aku “terpisah” dari suami dan 3 temanku yang lain, dan duduk di sebelah mbak-mbak yang satu pesawat denganku. Tiba-tiba, mbak ini cerita kalau dia diberi tahu temannya—kemarin sempat ada kasus pesawat dari Indonesia yang penumpangnya >20 orang positif saat dites di bandara Kansai. Jadi semacam kasus tes PCR palsu yang disediakan oleh perusahaan pengirim orang-orang tersebut. Akhirnya jadi kasus—orang-orang tersebut dikenakan denda yang sangat besar, dideportasi, dan diblacklist dari Jepang. Ngeri banget. 

Saat giliranku tiba, petugas imigrasi meminta berkas-berkas yang tadi sudah discreening. Kemudian dia mengambil foto, sidik jari, dan juga bertanya sedikit (menggunakan bahasa Inggris) tentang keperluanku tinggal di Jepang. Aku cukup memberikan info kalau aku hanya ibu rumah tangga yang punya visa dependent, di Jepang untuk ikut suami yang sekolah S2 (lalu aku diberi tahu oleh petugasnya tidak boleh apply kerja sambilan/baito—karena yang boleh hanya pemegang visa pelajar). Sebenarnya semuanya sudah aman setelah mendapat “Residence Track” dari universitas suami, karena mereka jadi sponsor yang menjamin aku saat tinggal di Jepang. Jadi selama ada berkas sakti itu, saya jamin di imigrasi bisa lancar jaya. Setelah itu dia menyetak “KTP Jepang” alias Residence Card yang menunjukkan bahwa aku sudah resmi tinggal di Jepang sebagai “penduduk”. Seneng banget rasanya setelah menerima Residence Card, berasa semua kekhawatiran pas persiapan sebelum berangkat dan sesampainya tadi sudah hilang. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah…

Prosesi terakhir di bandara ini ditutup dengan mengambil bagasi (koper-koper kami) yang ternyata sudah dipinggirkan, karena keseluruhan step dari awal di pesawat sampai imigrasi tadi lumayan lama—mungkin sekitar 1 sampai 1,5 jam. Kami pun mengambilnya dan bergegas keluar ke waiting room kedatangan. Lapar, ngantuk, dan haus—yah begitulah nasib 3 mahasiswa dan 1 IRT yang luntang-lantung menunggu shuttle bus jemputan dari kampus hahahahhah. Oh iya, sebagai catatan, karena sedang pandemi, kami diwajibkan untuk menggunakan kendaraan pribadi/sewa pribadi dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan umum. Karena di Kyoto tidak ada bandara, satu-satunya bandara terdekat adalah KIX (Kansai International Airport—yang terletak di Osaka). Alhamdulillah, ternyata universitas suami menyediakan shuttle bus yang menjemput kami dari Osaka. Dan itu gratis! Padahal sempat pusing memikirkan biaya transport dari Osaka ke Kyoto bisa habis puluhan ribu yen. Terima kasih Kyodai, hahahahah.

Kami sempat beli minum di vending machine sebelum jemputan kami datang. Akhirnya setelah menunggu lumayan lama, bis pun tiba. Bener-bener satu bis besar seperti damri yang diisi 6 orang + 1 supir hahahah. Oiya, 1 orang lagi adalah mbak-mbak yang aku gatau dari mana asalnya, tapi dia turun di hotel dekat bandara. Sedangkan suami dan 3 temanku karantina di Daiwa Roynet Hotel Kyoto Terrace Hachijo Higashiguchi (selatan Kyoto Station)—semuanya gratis ditanggung Kyodai—Alhamdulillah, terima kasih Kyodai. Awalnya aku mau ikutan karantina di hotel tersebut biar sekalian satu hotel dengan suami, tapi ternyata whaaaaa bisa miskin aku hahahahah, super mahallll! Ya gimana ya, 1 juta rupiah semalam dikalikan 14 hari masa karantina wajib di Jepang. Auto bangkrut hahahahh.

Akhirnya berbekal koneksi grup LINE RT-RW Kyoto Shiga, aku bisa mendapatkan sewa apato/apartemen yang komplit dengan kamar mandi dalem, ada dapur, ada toilet, ada kamar mandi, dan ada ruang tengah yang dilengkapi dengan kotatsu—untuk 14 hari HANYA 35 ribu yen alias kurang dari 5 juta rupiah sudah all-in. Rejeki istri solehah memang…Alhamdulillah. Ah, bagi yang tertarik, nama tempatnya Family Inn Kei. Mungkin memang harus pake “orang dalam” karena kalau sewa pakai tempat booking online semacam Booking.com kayanya gaakan bisa semurah itu. Orang dalamnya kebetulan orang Indonesia yang baito di apato itu, jadilah dia yang bisa nawar ke pemilik apatonya langsung.

Sesampainya di Kyoto, kami diturunkan di halte selatan Kyoto Station. Ternyata Hotel Daiwa Roynetnya duekeeeet banget dari halte—saking deketnya aku bisa bilang kalo roll depan/koprol beberapa kali bisa nyampe hahahahah. Dan apatoku tadi, juga deket hotelnya ternyata. Cuma 20 menit jalan kaki dari hotel. Setelah check-in dan ngedrop barang di hotel, aku dan suami membawa koper dan barang bawaanku ke apato. Seneng banget sambil lihat-lihat sekitar, ngelihat rumah-rumah orang juga plus mengagumi betapa bersihnya negara ini. Buatku pribadi, aku seneng banget akhirnya bisa balik lagi ke Jepang setelah 7 tahun berlalu. Bener-bener my wish comes true. Kangen yang akhirnya terobati.

Sesampainya di apato, suami ngangkat koperku yang beratnya 20kg+ ke lantai 3 (hahahah kasian banget dia) karena gaada lift di apatonya. Bangunannya juga nggak keliatan baru-baru amat sih, tapi tetap bersih. Ternyata pas masuk, langsung dibuat takjub dengan kamarnya yang jauh melebihi ekspektasi. Kamar tidurnya luaaaas banget! Tidurnya pake futon, dan kalo aku itung-itung bisa muat tuh 6 orang di ruangannya. Bersih banget, perlengkapan mandi plus alat dapur lengkap, dan ada kotatsu (ini kaget sih pas baru dateng karena ganyangka ada ruang tengah plus kotatsunya). Dah lah pokoknya auto feels like home. Bener-bener ga nyesel dan super worth-it.

Oiya setelah naruh barang di apato, aku dan suami nyoba keluar ke sekitar ngeliat lingkungan (sambil nyari konbini/convenience store). Kami nemuin ada Lawson 100 store yang ga jauh dari apatoku. Di situ kami belanja segala kebutuhan: telur, minyak goreng (canola), trus frozen food yang “aman” kaya crabstick, tahu, dan kecambah. Masih takut beli yang lain-lain karena bahasa Jepang yg terbatas dan hanya mengandalkan Google Translate hahahahah. Plus dari Indonesia kami bawa lumayan banyak Indomie aneka rasa—lumayan sebagai penyelamat kelaparan saat karantina plus bisa hemat banyakk banget. Kami tidak perlu beli air mineral karena air keran di seluruh jepang bisa diminum. Hahahahah, aman diminum kaya iklan sunco lol.

Abis belanja, terus pulang dan menyempatkan diri buat foto-foto di pagar tetangga soalnya bunganya bagussss banget! Pengen rasanya bisa bawa balik ke Indonesia (eh padahal baru nyampe juga yak). Setelah sampai di apato, masak-masak dan makan bareng suami, baru setelahnya dia balik ke hotel. Memang karantina di Jepang ga seseram dan seketat itu, tapi sebenernya kami diawasi via app COCOA yang wajib diinstall saat sampe di bandara. Ya mirip-miriplah ama Peduli Lindungi, tapi bedanya app itu bisa ngelacak keberadaan kita 24/7–dan kalo suatu saat lagi apes (petugasnya liat kita lagi keluyuran dan pas ditelpon kita gaada di tempat karantina yang kita daftarin di bandara), bisa kena denda 500 ribu yen. Ahahahah, lumayan membuat bangkrut seketika. Nah untuk siapa-siapa yang dikontak petugas itu emang random banget dan bisa aja selama karantina ga dikontak sama sekali—seperti diriku ini. Jadi ya memang bergantung amal dan wirid hahahah.

Selama karantina wajib ngelaporin suhu tubuh (Alhamdulillah normal terus). Sebenernya suamiku juga sering mampir ke apatoku buat makan atau menghabiskan waktu, bahkan pernah nginap juga karena aku yang ngerengek gakuat berhari-hari tidur sendiri (dan Alhamdulillah aman-aman aja sih). Bahkan pernah hari ke berapa gitu (lupa), ada temen kuliah yang emang kuliah di Osaka terus dia main ke Kyoto, nah dia menyempatkan untuk main ke apatoku. Aku masakin makan malam tahu ketumbar dan dia seneng banget karena dah kangen berat ama masakan indo. Kami makan bertiga dan ngobrol sampe tengah malem, terus dia nginepnya bareng suami di hotel (karena dia laki-laki, lol). Paginya dia baru balik ke Osaka. Hahahahahh, emang gak bener aku ini. Jangan dicontoh ya.

Begitulah cerita hari pertama tiba di Jepang bersama suami. Benar-benar masih terkenang dan ingatannya masih fresh sampai sekarang—tepat setahun kemudian. Aku bikin tulisan ini untuk mengingat awal perjalanan kami di Jepang, sebagai kenangan supaya aku selalu ingat pernah ke Jepang saat Pandemi. Mungkin akan aku buat tulisan-tulisan selanjutnya tentang cerita persiapan sebelum berangkat dan cerita hari-hari di Jepang. Untuk sekarang cukup sekian (biar ngga kepanjangan, hehehehe).

Terima kasih sudah membaca :)
Jangan takut untuk berdoa dan berkata baik, siapa tahu diwujudkan oleh Allah SWT

Salam,
Lacuptea





Comments