pada suatu malam musim dingin di Kyoto

Kyoto, 01 Februari 2021

Memasuki bulan ke-2 sejak kami tinggal di Jepang. Musim gugur dengan daun kemerahan lalu berganti dengan hamburan salju yang turun pelan-pelan dari langit. Akhirnya, salah satu wishlist-ku untuk menyaksikan salju bersama dengan orang yang kucintai sudah berhasil kucapai. Check.

Benar-benar suatu hal yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya untuk bisa tinggal di sini sekarang mengingat betapa pandemi menerjang seluruh belahan bumi dan melumpuhkan semuanya. Bagaimana sebuah makhluk tak kasat mata benar-benar memberhentikan gerak dunia dan seisinya. Sungguh mengerikan sekaligus membuktikan betapa manusia ini makhluk yang sangat lemah dan tidak memiliki kendali terhadap apapun.

Tapi, pada akhirnya, takdir tidak pernah salah sasaran. Apa yang sudah ditakdirkan untuk kita--untuk terjadi di dalam hidup kita--tidak pernah tertukar dengan milik orang lain. Tidak pernah juga meleset. Jadi walaupun banyak hambatan, rintangan, ketakutan, dan sedikit keputusasaan akibat ketidakjelasan takdir yang akan kita terima untuk berangkat ke sini, akhirnya takdir dari Tuhanlah yang tetap menjadikan kita tetap berangkat--sehingga kini aku bisa mengetik entri blog ini di meja belajar di sudut kamar dorm di Kyoto. Sungguh di luar imajinasiku sebelumnya.

Selama dua bulan tinggal di sini, melakukan beberapa penyesuaian hidup dan pengamatan terhadap hal-hal asing yang ada di sekitar membuatku banyak merenung dan berpikir. Kadang aku mengalami serangan-serangan krisis identitas--yang syukurlah selalu diselamatkan oleh suamiku sebelum aku tenggelam lebih jauh. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan timbul dari dasar pikiranku, menghantuiku, membuatku bingung, sedih, khawatir, dan segala perasaan yang campur aduk lainnya. Aku senang tinggal di sini, betulan. Rasanya stress hidup berkurang sangat banyak hingga akhirnya aku menciptakan stressku sendiri dengan tidak sengaja menghilangkan kartu transportasiku sendiri. Dasar manusia. Cuma, ya itu, apa ya. Ada semacam mixed feelings yang tidak bisa dijelaskan dengan baik dengan kata-kata. Mungkin di umurku yang mendekati seperempat abad tahun ini membuatku terjebak di quarter life crisis. Whoa.

Meskipun begitu, jika dilihat-lihat (dan dirasakan tentunya), berkat yang kuterima jauh melebihi segala kekhawatiranku terhadap eksistensiku di muka bumi ini. Betapa Tuhan sayang sekali padaku, betul-betul sayang. Dengan salah satu berkat terbaik yang kuterima adalah dipertemukan dengan suamiku dan menikah dengannya. Lalu berdua menjalani semesta kecil kita berdua, hingga kini kami terdampar di suatu tempat magis bernama Kyoto. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

Semoga apa yang akan hadir di masa mendatang membawa berkah untuk kami. Menjadikan kami lebih baik dan bijak. Di tempat entah berantah ini, kami tiba dan melangkah. Mungkin akan sedikit tersesat. Mungkin akan sedikit sakit dan bingung. Tapi kami akan selalu menemukan jalan pulang, dengan tangan kami selalu tergenggam bersama. Aku ingin hidup dan menikmati sekarangku. Sebanyak-banyaknya yang kubisa. Tidak terlalu memusingkan apa kata orang, bahkan tidak memusingkan apa kata diriku yang lain yang hidup di rongga tubuh yang sama dengan diriku yang ini. Semoga kami bisa hidup dan menghidupkan satu sama lain. Semoga kami bisa melangkah lebih jauh, ke sebuah petualangan baru yang lebih besar dan luas di luar sana.

---
lacuptea

Comments