ray of sunshine

Kata orang aku tuh mengingatkan mereka kepada matahari. Memberi energi kepada sekitar, membuat tertawa, selalu memancarkan aura positif dan semangat, pemberani, serta menghidupkan suasana jadi lebih cerah. Tapi…apa sih yang sebenarnya aku lihat di dalam diriku sendiri?

Well,
Aku sih merasa aku nggak ada bedanya dengan yang lain. Aku juga manusia, yang bisa ngerasa sedih dan jengkel, bisa badmood tanpa alasan yang jelas, atau kadang seenaknya jump to conclusion. Mungkin keceriaan dan kecerahan itu bagian dari nature-ku sejak kecil. Tapi yang banyak orang nggak tahu, aku sudah mengalami banyak hal pahit sepanjang hidupku jadi aku bisa lebih santuy dan memilih untuk menghabiskan energiku menjadi sesuatu yang positif. Atau lebih tepatnya, paling nggak karena hidup ini sudah berat, aku ingin bisa sesederhana membuat seseorang tersenyum hari ini (ini sudah jadi daily goal-ku—at least one person is smiling because of me).

Mungkin bisa dikatakan aku ini anak yang privileged, lahir di masa ortuku sudah menjadi orang mampu. Dulu saat ortuku masih punya anak satu, mereka pernah tinggal di kontrakan 3x3 meter dengan atap asbes, kamar mandi luar menggunakan sumur, piring 2, sendok 2, gelas 2, satu kasur dan satu kursi plastik. Sudah. Itu saja. Aku masih tidak bisa membayangkannya, betapa panasnya tinggal di situ mengingat Surabaya yang panasnya melebihi neraka bocor. Kipas angin pun tidak punya karena tidak punya uang untuk membelinya. Sangat menyedihkan. Tapi orang tuaku tidak kenal menyerah, sehingga saat aku lahir sebagai anak terakhir, ekonomi keluarga sudah mapan dan stabil. 

Walaupun begitu, Mama selalu mengingatkan kalau semua itu hanya titipan, harus jadi orang yang baik dan down to earth. Tidak boleh sombong. Mungkin Mama adalah satu-satunya profesor (guru besar) di Indonesia yang nggak malu kalau harus naik angkot. Gelar, jabatan, prestise, itu cuma bonus, kata Mama. Kalau semua atribut itu dicopot, kita semua sama, sama-sama manusia. Mama juga yang mengajarkan untuk selalu memberi ke sesama dan tidak perhitungan (ga boleh pelit). Karena orang yang suka berderma ga akan pernah miskin. Lagian juga, apapun yang kumiliki itu semuanya cuma dititipkan saja, bukan? Jadi tidak perlu terlalu terikat dengan kekayaan duniawi yang fana ini. Semua bisa diambil oleh-Nya kapan saja.

Nah, karena dilahirkan dengan kondisi yang tidak perlu kukhawatirkan, aku jadi tumbuh dengan ceria dan riang (terima kasih untuk mama dan papa). Papa orang yang penyayang, tidak pernah bersuara keras sedikitpun, dan suka banget ngelawak. Sebagian dari diriku terbentuk dari apa yang kutiru di dalam diri Papa. Jika Mama yang menjadikanku sosok yang suka memberi, gak pelit, dan gak sombong, Papa menjadikanku sosok yang penyayang, tidak suka konflik, menjadi pendengar yang baik, dan suka ngelawak. Sifat-sifat itu yang kemudian tumbuh menjadi personality-ku sekarang. 

Namun, saat itu aku masih ngambekan dan gak sabaran menghadapi situasi yang nggak nyaman. Masih suka marah-marah sendiri. Mungkin karena Papa juga memanjakan aku (sebagai anak perempuan terakhir), dan memang aku tipikal daddy’s little girl. Dari semua saudaraku, aku yang paling dekat dengan Papa. Kemana-mana sama Papa, dijemput Papa, makan bareng Papa, jalan-jalan bareng Papa, dan pokoknya 24/7 selalu ada Papa. Sampai suatu hari, aku lupa kalau Allah lebih sayang sama Papa.

Papa meninggal tepat di depanku. Mataku terlalu buram dengan air mata dan kepalaku terlalu pusing untuk memproses apa yang terjadi. Beliau meninggalkan kami dan mama setelah 5 bulan berjuang melawan kanker hati, dari yang sehat walafiat langsung ambruk dan parah begitu saja. Aku belum siap. Aku nggak siap. Saat itu duniaku hancur.

Hari itu terasa sangat cepat. Papa meninggal sebulan sebelum ulang tahunku yang ke-14. Rumah sangat ramai dengan orang-orang yang berziarah. Semua sangat sedih dan kehilangan. Mungkin bagi mereka, Papa juga seperti matahari. Aku masih terduduk di sudut ruangan, melihat orang berlalu-lalang. Papa akan pulang, kan?

Nggak.

Papa nggak akan pernah pulang. Sejak hari itu sampai sekarang. Bukan nggak akan, tapi nggak bisa
Kematian Papa benar-benar menghantamku seperti truk, aku kehilangan pegangan. Aku kehilangan sosok yang begitu kukagumi dan kusayangi, sosok kuat yang kujadikan sandaran. Aku menangis berhari-hari,  dan sering berpikir untuk mati. Aku terjun bebas ke jurang depresi.

Keceriaanku hilang. Aku nangis terus tiap hari sampai suatu hari aku sakit dan bermimpi. Papa datang dan menggenggam tanganku, mengajakku jalan menuju sebuah gerbang yang sangat-sangat besar dan tinggi. Tapi aku terhenti di depannya, papa hanya tersenyum. Aku bilang “Kalau aku ikut Papa, siapa yang jagain Mama?”. Kemudian Papa memelukku sekali, dan masuk kedalam gerbang dan menutupnya. Aku terbangun, dengan kompres di dahi, air mataku mengalir. Aku mendapati Mama tertidur di sebelahku. Aku memeluk Mama dan menangis sejadi-jadinya. Aku minta maaf karena terlalu memikirkan kesedihanku sendiri, sampai lupa bahwa yang lebih sedih dari aku itu Mama. Mama juga kehilangan Papa.

Mulai detik itu, perlahan aku mencoba menerima keadaan dan kenyataan. Aku mencoba tegar menghadapi kenyataan dan berdiri diatas kakiku dengan tegak dan ceria seperti sebelumnya. Memang kadang aku masih kangen Papa, kadang aku berpikir kira-kira apa yang Papa pikirkan tentang Suamiku? Apakah Papa bangga aku masuk dan lulus dari ITB? Dan banyak angan lain yang tak lebih dari lamunan.

Tanpa Papa, tidak terasa aku jadi sosok yang sangat mandiri. Tidak mencoba bergantung kepada siapapun. Kadang masih suka sedih, tapi aku wajarkan saja. Kadang masih suka berbicara sendiri seolah sedang ngobrol dengan Papa. Sampai aku kelas 3 SMA, kemudian Mama menikah lagi. Mama dilamar oleh Bapak, yang kebetulan ketemu Mama saat menjadi dosen penguji sidang S3. Jadilah mulai kehidupan baru kami. Bapak, tentu saja beda dengan Papa. Sifatnya, kebiasaannya, wataknya. Tapi satu hal yang sama, Bapak dan Papa sama-sama sayang denganku. 

Kupikir, semua akan baik-baik saja, tapi justru drama baru dimulai. Biasa lah, perkara drama saudara tiri dan kandung, hahahah. Tapi lumayan bikin stress, mengingat aku juga sudah kelas 3 SMA, harus intensif UN, SBMPTN. Di tengah terpaan badai drama keluarga, stress belajar dan sekolah, penyesuaian keluarga baru, ternyata Allah masih melihatku sebagai hamba-Nya yang kuat. Aku tiba-tiba sakit. Nggak tahu apa penyebabnya (mungkin akumulasi stres dari segala penjuru), aku demam tinggi sampai 5 hari. Demam itu benar-benar membuat badanku sakit semua. Sampai aku berpikir aku akan mati. Tapi, setelah hari kelima, demamku tiba-tiba hilang. Aku kembali sehat seperti sedia kala. Jadi, aku juga tidak terlalu memusingkannya. Padahal, itu adalah awal mula ujian hidupku bertahun-tahun mendatang...


Ternyata aku nggak keterima SNMPTN. Jadilah aku belajar lagi untuk persiapan SBMPTN. Aku bertekad untuk tidak kuliah di Surabaya (karena masalah keluarga ini) dan aku pengen mencoba untuk mandiri. Ya motif utamanya adalah kabur, tapi motif lainnya karena ingin mencoba hidup sendiri. Jadilah aku pilih ITB dan UGM. Karena pilihanku di kampus Jateng dan Jabar, jadilah aku belain sampe tes tulis di Solo. Hahahah, nothing to lose. Thanks to Mama yang nggak pernah nentuin atau nyuruh-nyuruh aku untuk menjalani kehidupan yang nggak kumau. Berkat Mama, aku jadi anak yang berani ambil resiko dan sering “coba aja dulu”. Yang penting kamu bertanggung jawab atas pilihanmu, Nduk.

2014. Resmi sudah aku jadi mahasiswa ITB. Tepat seminggu sebelum daftar ulang di sabuga, aku diopname di rumah sakit karena aku ambruk lagi. Inget pas aku panas 5 hari tadi? Ternyata masih bersambung. Tiba-tiba aku mimisan banyak banget sampai darahnya seperti air mengalir, lemes, pusing, muntah-muntah. Sudah mendekati hari daftar ulang dan aku harus ke Bandung (atau kalau tidak aku akan gugur). Jadi apa yang kulakukan? Aku berangkat. Aku meyakinkan diri sendiri kalau aku sehat dan kuat. Jadilah sehat dan kuat beneran (mungkin terkena euforia maba). Sampai aku lupa kalo H-7 daful aku diopname, hahaha. 

Beberapa kali mimisan parah, pusing, muntah, tak membuatku memikirkan penyakitku. Aku sempat ke dokter dan lagi-lagi dokter tidak tahu aku sakit apa (tapi tetep dikasi obat simtomatik tentunya haha). Hingga suatu hari aku mimisan di kampus, saat kuis kimia. Mimisan banyak sekali sampai aku harus lari ke toilet. Mimisannya kena lembar jawaban kuisku juga. 

Aku telepon Mama karena panik dan saat itu Mama telepon ke Kakakku. Suami kakakku menyarankan aku untuk dibawa ke luar negeri karena sudah setahun ini gejalanya tak kunjung reda. Dia takut kalau semakin telat dan salah penanganan. Dengan sigap Kakakku membuat appointment dengan dokter di RS Mount Elizabeth, dr. Patrick Tan, salah seorang hematolog terbaik di SEA (biar segera tau diagnosis penyakitku ini apa dan ga muter-muter lagi). Mama telepon balik ke aku, dengan kondisi aku masih menunggu mimisanku reda. “Dik, besok kamu berangkat ke Singapore ya, tiketnya udah Mama WA. Nanti ketemu Mama di sana”. Hah. Bentar. Minggu depan UAS TPB. Bodo amatlah, health comes first. 

Ternyata memang benar, kalau nggak tahu penyakit lebih mendamaikan (dengan resiko tau-tau langsung meninggal aja), daripada tau sakit apa. Belum juga usia 20 tahun, ternyata aku terkena CML (Chronic Myeloid Leukemia), dengan tingkat keparahan 85%, yang artinya hanya 15% sel darah tubuhku yang normal. Allah sungguh baik dan sayang sama aku. Aku juga menjalani bone marrow aspiration yang sakit tak terkira. Semenjak itu, jarum suntik sudah tak terasa lagi. Dan karena Leukemia itu, aku harus menjalani kemoterapi. Terima kasih atas penemuan abad ke-21, kini kemo banyak variasinya. Aku menjalani kemoterapi oral yang diminum setiap hari. Iya, setiap hari.

Rambut rontok, kuku jadi ungu, berat badan naik, moon face, fatigue, sudah kujumpai (sebagai efek samping kemonya). Tapi yang paling menyebalkan adalah mual. Mual (dan muntah) setiap hari. Setiap hari. Selama berapa lama? 4 tahun. Setiap malam sebelum mengonsumsi obat kemonya aku selalu berdoa supaya aku langsung tidur nyenyak. Kalau aku terbangun sebentar saja, aku pasti muntah. Pasti. Jadi mual kutahan dengan linangan air mata, sampai aku capek dan ketiduran. 

Penderitaan itu memuncak ketika terjadi badai  psikis saat mengerjakan Tugas Akhir. Aku capek mual karena kemo oral, depresi menyerang lagi, berhari-hari di kamar, menangis. TA harus ngulang terus. Aku capek fisik dan mental sampai suatu hari aku buang obat kemo puluhan juta itu ke kloset sambil menangis tersedu-sedu. Aku capek, aku ingin mati. Nggak cukup sampai situ, ada drama dengan keluarga mantanku sampai akhirnya hubungan 6 tahun kami kandas. Bayangkan, di tahun yang sama, 2018, semua seperti berserakan. Hingga aku berangkat ke Sigapore untuk checkup (sendirian), dan aku divonis resisten dengan kemo yang sekarang (jadi aku harus mengganti dengan kemo level 3 yang jauh lebih dasyat). Dengan kondisi hancur dan sendirian, aku sholat di Masjid dekat Chinatown. Aku menangis hingga ketiduran. Aku dibangunkan oleh seorang ibu-ibu, dia berkata “semua akan baik”. Mungkin mataku udah bengkak segede cuanki.

Sepulangnya dari Singapore, aku mengambil cuti untuk memulihkan diri. Aku di Surabaya selama 1 semester, mulai bercocok tanam sebagai bentuk self-healing. Pelan-pelan aku mulai menata diri dan memaafkan semuanya. Aku melihat kalau sebenarnya tidak ada yang mampu merenggut aku dari diriku. Allah sayang aku dan Allah memberi kekuatan pada hamba-hambanya yang tidak putus asa. Allah itu dekat. Mungkin kepahitan demi kepahitan itulah yang membuatku menjadi orang yang pemberani dan tegar. Aku tidak akan sekuat ini kalau belum pernah mengalami semuanya.

Ada sedikir cerita menarik. 
Saat semester 5, aku belum dapat tempat KP. Sampai pada akhirnya Alhamdulillah diterima internship 1 bulan di Postech, Korsel (setelah sempat berpikir akan KP di kebun binatang Surabaya kalau sampai opsi itu tidak diterima juga, lol). Tapi ternyata, Allah Maha Baik. Tepat sebulan sebelum berangkat, aku masuk UGD (posisi di Semarang). Aku dinyatakan radang usus buntu akut dan harus segera dioperasi, kalau tidak, nanti ususnya bisa robek dan bocor. Astaga. Malamnya masuk, subuh-subuh dioperasi, nginep sehari, besoknya pulang. Iya, pulang. Karena Mama Bapakku harus kerja, dan di Semarang gaada yang nungguin, akhirnya ya aku pulang. Aku telan saja rasa ngilu sepanjang perjalanan. “Kuat-kuat Nduk, kamu kuat” kata Mama. Bagaikan mantra, dalam waktu seminggu aku merasa sembuh, aku langsung ke Bandung untuk mengurus berkas yang akan kubawa ke kedubes Korsel di Jakarta. Ya, nggak semudah itu ferguso buat menyerah. Hahahah, mottoku adalah “gausah dipikir, coba dulu”. Hakuna Matata.
Belum sebulan operasi, langsung ke Bandung sendiri, ke Jakarta sendiri ngurus semua sampai visanya terbit, dan berangkat ke Korea sendiri. Semua kaya mimpi. Hampir aja aku mau nyerah, tapi aku bersyukur aku memilih tidak. Alhamdulillah.

Waaaaaaah, ternyata panjang banget ya. Ga kerasa ngetik sepanjang ini. Semoga cerita tentang “personality”ku yang semi curhat ini dapat jadi gambaran ya. Bahwa personality atau kepribadian seseorang itu kompleks. Terbangun bertahap dan perlahan, ditempa sehingga jadi seperti sekarang. Nggak sesimpel itu, bahkan butuh kepahitan bertubi-tubi sebelum terbentuk sedemikian rupa.

Terima kasih buat siapapun yang membaca sampai sini,
Semoga ada hikmah yang dapat dipetik ~


P.s.
Semoga aku istiqomah ya menulis selama 30 hari ini, Aaamiiin (hahah)

Salam,
Lacuptea

Comments