Creep

Ruth memandang keluar jendela.
Dia hanya duduk, diam, tanpa memikirkan apapun.
Akhir-akhir ini beban di otaknya lebih berat dari yang mampu disangganya.
Lehernya terasa sakit, linu.
Mata Ruth berkaca-kaca.
Akhirnya Ia menarik napas pelan dan berat--merasakan semua udara itu mengalir ke tenggorokannya.
Perlahan juga Ia menutup mata.

Potongan kolase ingatan itu seakan kembali. Mungkin kali ini lebih parah.
Ruth sama sekali tak mau memikirkannya.


Pada malam-malam dingin, Ruth hanya mampu terjaga.
Buliran air mata itu mengalir pelan.
Ruth sudah memaafkannya.
Tapi itu tak terlalu penting.
Ada kolase lain yang menyakitkan kepalanya.


Ruth membuka ponselnya, memainkannya dengan malas. Dengan tangan kiri memegang sebuah fruit bar yang Ia kunyah sekarang, Ruth berjalan dari dapur menuju kamarnya.
Di tengah jalan Ruth berhenti.
Ia sungguh tahu apa yang dirasakannya.
Dan Ruth tahu juga Ia membencinya.
Jangan pernah membiarkannya muncul, Ruth.

Ruth pun memutar dan kembali ke meja makan, mencoba mencerna fruit bar dan segala perasaannya.
Ruth tak ingin lagi pergi ke kamar.
Rasanya sedih.
Pada setiap kata yang tak mampu terucap.
Kata itu malah tertelan, terenggut dari mulutnya tanpa sisa.
Sedang Ia memandang kolase itu dengan tatapan nanar.

Ruth, kau sungguh menyedihkan.


Akhir-akhir ini, entahlah.
Ruth terlalu banyak berpikir.
Seandainya begini, seandainya begitu.

Ruth jahat.
Ruthless.


Rasanya Ruth ingin benar-benar menghindarinya.
Tapi rasanya seluruh inderanya menangkap hal yang berlawanan.
Tak sadar Ia mengetikkan namanya.
Melihatnya lagi hanya untuk memastikan bahwa Ia masih terlalu bodoh.
Bukan urusanmu, Ruth.

Ruth ingin Ia bisa melawan dirinya sendiri.
Semuanya terasa salah.


Ruth tiduran di kasurnya.
Ia memandang ke pantulan dirinya sendiri dari layar ponsel yang mati.
Kembali pada detik-detik yang menyiksanya.
Ruth merasakan kalau urusan ini belum selesai.
Ia diam,
mendengar lagu mengalir dari headphone yang dipakainya.
Sama dengan judul ini.

lacuptea 

Comments