One Fine Day
Ruth mendekap kedua kakinya, sangat
rapat. Ia tak mampu berpikir lagi. Apapun yang terjadi akhir-akhir ini
dalam hidupnya hanyalah kekacauan. Ia hampir tak memiliki seseorang
untuk berbagi tentang kehidupannya. Lehernya terasa terjerat, sesak, ia
tak sanggup lagi bernapas. Ruth menenggelamkan kepalanya dalam-dalam di
lututnya, seraya berpikir apakah ia akan mengalami hal ini selamanya.
Mungkin
sudah sejam Ruth dalam posisi itu. Lehernya mulai terasa sakit, namun
tak sesakit perasaannya. Rasa bersalah menyeruak di dada Ruth, perlahan
menggerogoti kewarasannya. Ruth tak mengerti kenapa hal ini harus
terjadi padanya. Ruth kecewa, mengapa ia harus berada dalam keadaan ini.
Ia kacau saat mendengar teriakan-teriakan penolakan dari kepalanya,
kemudian dengan segera mengambil headset, memasangnya,
memperbesar volumenya hingga maksimum. Ruth tak peduli dia akan menjadi
tuli. Lebih baik ia tak mendengar apapun, daripada ia harus menanggung
sesak yang ia terima ini.
Bagaimana
manusia bisa sangat jahat? Bagaimana manusia bisa sangat egois? Aku
benci diriku. Aku benci tak bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Aku
terhimpit. Aku tak siap kehilangannya.
Batin
Ruth berteriak-teriak. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia bingung.
Kemudian Ruth mengambil secarik kertas. Ia mulai menulis, tulisan yang
takkan sampai pada ayahnya. Tulisan yang akan berakhir hanya di mejanya.
Karena Ruth tahu, ia tak mungkin lagi memberikannya.
Ia membaca tulisan itu untuk yang terakhir kali, sebelum meremasnya dengan keputus-asaan.
Ruth
lacuptea
Comments
Post a Comment